1. Resiko audit dan
materialitas harus dipertimbangkan pada perencanaan dan pelaksanaan saldo audit
atas laporan keuangan sesuai dengan standar auditing. Resiko audit dan
materialitas juga harus dipertimbangkan bersama-sama dalam penentuan sifat,
saat dan luasnya prosedur auditing
a. Resiko Audit
dan Materialitas
Ø Resiko Audit
Yang dimaksud dengan resiko
audit adalah risiko kesalahan auditor dalam
memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan yang salah
saji secara material. Sedangkan
dalam SA seksi 312 No 2 mendefinisikan risiko audit
merupakan risiko yang timbul karena auditor tanpa disadari tidak memodifikasi
pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung
salah saji.
Auditor tidak menjamin bahwa laporan keuangan terbebas dari salah saji
material, maka terdapat beberapa resiko bahwa laporan keuangan terdapat salah
saji material yang tidak terdeteksi oleh auditor. Untuk itu, auditor harus
mempertimbangkan resiko audit dalam perencanaan dan pelaksanaan saldo audit
atas laporan keuangan. Tujuannya
adalah untuk membatasi risiko audit pada tingkat saldo akun sedemikian rupa
sehingga pada akhir proses audit, risiko audit dalam menyatakan pendapat atas
laporan keuangan sebagai keseluruhan akan berada pada tingkat yang rendah. Resiko audit
berbanding terbalik dengan keyakinan yang memadai, semakin tinggi kepastian
yang ingin diperoleh auditor dalam menyatakan pendapat yang benar, maka semakin
rendah resiko audit yang akan diterima.
Selain itu, resiko audit merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pertimbangan auditor dalam menetukan cukup atau tidaknya bukti
audit yang dikumpulkan. Terdapat hubungan terbalik
antara risiko audit dengan jumlah bukti yang diperlukan untuk mendukung
pendapat auditor atas laporan keuangan. Semakin rendah tingkat risiko audit yang
ingin
diperoleh
auditor, maka semakin
banyak bukti audit yang diperlukan. Karena
rendahnya
risiko audit berarti tingginya tingkat kepastian yang diyakini auditor mengenai
ketepatan pendapat atas kewajaran laporan keuangan. Tingginya tingkat kepastian tersebut
menuntut auditor untuk menghimpun bukti yang lebih banyak.
Ø Materialitas
Menurut FSAB materialitas
merupakan besarnya suatu pengabaian atau salah saji informasi akuntansi yang
diluar keadaan disekitarnya, memungkinkan bahwa pertimbangan seseorang yang
bergantung pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh
pengabaian atau salah saji tersebut. Materialitas memberikan suatu
pertimbangan penting dalam menentukan jenis laporan audit mana yang tepat untuk
diterbitkan dalam suatu kondisi tertentu.
Sama halnya resiko audit,
material juga merupakan mempengaruhi pertimbangan auditor
dalam menetukan cukup atau tidaknya bukti audit yang
dikumpulkan. Ada hubungan terbalik antara tingkat materialitas dan kuantitas
bukti audit yang diperlukan. Semakin rendah tingkat materialitas, maka semakin
banyak kuantitas bukti yang diperlukan. Maksudnya disini adalah rendahnya salah
saji yang dapat ditolerensi menuntut auditor untuk mengumpulkan bukti sehingga
auditor yakin tidak ada salah saji material yang terjadi.
Ø
Risiko Audit dan Materialitas
Materialitas mendasari penerapan standar
auditing, terutama yang berkaitan dengan penerapan standar pekerjaan lapangan
dan standar pelaporan, serta tercermin dalam laporan auditor bentuk baku.
Materialitas dan risiko sangat fundamental bagi perencanaan dan pelaksanaan
saldo audit atas laporan keuangan. Risiko audit dan materialitas, bersama
dengan hal-hal lain, perlu dipertimbangkan dalam penentuan sifat, saat dan
luasnya prosedur auditing.
Auditor dapat menggunakan logika model risiko
audit untuk mengambil keputusan tentang sifat, saat, dan luasnya prosedur
audit. Dalam model risiko audit,
pertama, auditor menilai risiko bahwa salah saji material akan terjadi pada suatu
asersi. Kedua, auditor memperoleh pemahaman tentang struktur pengendalian
intern yang relevan dengan asersi tersebut dan dapat melaksanakan pengujian
tentang efektivitas pengendalian. Setelah itu, auditor membuat pertimbangan
tentang risiko salah saji yang material dalam informasi keuangan tentang asersi yang disajikan untuk
audit serta menetapkan lingkup prosedur audit yang sesuai. Selanjutnya auditor
dapat merancang suatu rencana audit yang memperbolehkan tingkat risiko deteksi
yang lebih tinggi.
Bedasarkan penejelasan diatas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa resiko dan materialitas dipertimbangkan bersama ketika
melaksanakan penugasan. Resiko Audit dan materialitas digunakan dalam perencanaan
penugasan dan juga dalam mengevaluasi pengumpulan bukti.
b. Komponen-Komponen
Resiko Audit yang meliputi IR, CR, dan DR
v IR (Inherent Risk) atau disebut juga Resiko bawaan.
Resiko bawaan merupakan kerentanan suatu saldo
akun terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat
pengendalian yang terkait.
Risiko ini dipertimbangkan pada tahap perencanaan
audit. Jika auditor menyimpulkan bahwa
kemungkinan besar akan ada salah saji, dengan mengabaikan pengendalian
internal, auditor akan menyimpulkan bahwa risiko inheren adalah tinggi.
Pengendalian internal diabaikan dalam penetapan risiko ini karena pengendalian
internal ini diperhitungkan secara terpisah dalam model risiko audit sebagai
risiko pengendalian. Akun yang
terdiri dari jumlah yang berasal estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko
lebih besar dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi
data berupa fakta.
v CR (Control Risk) atau Risiko Pengendalian. Risiko
penegndalian merupakan suatu salah saji yang material yang dapat dalam asersi
yang tidak dapat dicegah atau
dideteksi secara tepat waktu oleh
pengendalian suatu perusahaan. Risiko pengendalian
tidak pernah mencapai keyakinan penuh bahwa semua salah saji material akan
dapat dideteksi ataupun dicegah. Risiko pengendalian merupakan fungsi dari
efektivitas struktur pengendalian internal
suatu perusahaan. Semakin efektif struktur pengendalian
internal perusahaan klien,
semakin kecil risiko pengendaliannya. Penetapan risiko pengendalian didasarkan atas kecukupan bukti audit yang menyatakan bahwa struktur
pengendalian internal
suatu perusahaan adalah efektif. Pada saat perencanaan
audit, auditor menentukan besarnya risiko pengendalian yang direncanakan untuk
setiap asersi yang signifikan.
v DR (Detection Risk) atau disebut juga risiko deteksi.
Yang dimaksud risiko deteksi risiko bahwa auditor
tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu perusahaan. Risiko deteksi
merupakan fungsi efektvitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor.
Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor
tidak memeriksa keseluruhan saldo
akun untuk mengumpulkan bukti asersi lainnya,
dan sebagian lagi karena ketidakpastian lain yang ada, walaupun saldo akun
tersebut diperiksa semuanya.
Ketidakpastian lain semacam itu timbul karena auditor mungkin memilih suatu
prosedur audit yang tidak sesuai, menerapkan secara keliru prosedur yang
semestinya, atau menafsirkan secara keliru hasil audit. Ketidakpastian lain ini
dapat dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diabaikan melalui perencanaan
dan supervisi memadai dan pelaksanaan praktik audit yang sesuai dengan standar
pengendalian mutu.
c. Hubungan
diantara komponen-komponen tersebut
Hubungan antara ketiga
komponen tersebut diatas dapat dilihat melalui pengujian kuantitaif yaitu dalam
model risiko dibawah ini:
AR = IR X CR X DR
Dimana AR adalah Audit Risk
(Resiko Audit). AR merupakan fungsi dari IR, unsur yang tidak dicegah oleh
pengendalian dan tidak terdeteksi oleh auditor. Konsep resiko audit terutama penting
saat auditor mempertimbangkan tingkat yang tepat untuk resiko deteksi ketika
merencanakan prosedur audit untuk mengaudit sutu asersi. Semakin rendah
penilaian risiko bawaan dan risiko pengendalian, maka semakin tinggi tingkat yang dapat
diterima untuk risiko deteksi.
Sebagai contoh, asumsikan seorang
auditor telah membuat penilaian risiko berikut untuk asersi saldo akun tertentu, katakanlah akun
persediaan.
AR= 10%, IR= 70%, CR=50%,
maka resiko deteksi dapat dihitung sebagai berikut.
Risiko deteksi sebesar 29%,
berbarti auditor perlu merencanakan
pengujian subtantif dengan suatu cara yang akan menghasilkan risiko yang dapat
diterima bahwa terdapat kemungkinan kegagalan sekitar sebesar 29% dalam mendeteksi Salah saji yang material.
2. Dalam setiap penugasan
audit, seorang auditor harus melakukan evaluasi terhadap Sistem Pengendalian
Internal dari auditee. Jelaskan secara singkat dan kaitkan dengan standar
auditing yang ada, untuk apa seorang auditor melakukan evaluasi tersebut dan
akan menghasilkan apa kegiatan evaluasi tersebut!
Sesuai dengan SA seksi 150 yang bersumber dari PSA no
1, dalam Standar Pekerjaan Lapangan ke-2 Menyebutkan: “Pemahaman memadai atas pengendalian intern
harus diperoleh unutk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup
pengujian yang akan dilakukan“.
Dan berdasar PSA no 9 (SA Seksi 319) yang memberikan panduan tentang pengimplementasian standar
pekerjaan lapangan yang kedua, dapat kita tarik beberapa tujuan seorang auditor melakukan evaluasi
terhadap SPI, antara lain adalah sebagai berikut:
Untuk memahami sikap,
kesadaran, dan tindakan manajemen dan dewan komisaris terhadap lingkungan
intern.
Untuk merencanakan audit dengan melaksanakan prosedur
untuk memahami desain pengendalian yang relevan dengan audit atas laporan
keuangan, dan apakah pengendalian intern tersebut dioperasikan.
Pada akhirnya adalah untuk arsesi laporan keuangan.
Pengendalian
yang berkaitan dengan tujuan operasi dan kepatuhan mungkin relevan dengan suatu
audit jika kedua tujuan tersebut berkaitan dengan data yang dievaluasi dan
digunakan auditor dalam prosedur audit,
namun terdapat juga pengendalian yang tidak relevan. Untuk itu diperlukan
adanya evaluasi pengendalian oleh auditor.
Untuk mempertimbangkan dampak pengendalian intern entitas
terhadap audit
Sedangkan
hal yang dihasilkan dari kegiatan evaluasi tersebut, adalah sebagai berikut:
Dengan mengevaluasi SPI, auditor dapat menghasilkan perencanaan
dan peaksanaann prosedur audit yang sesuai dengan kondisi lapangan suatu
perusahaan
Setelah melakukan perencanaan, auditor dapat mengetahui risiko pengendalian untuk asersi yang terdapat
dalam saldo akun, golongan transaksi, dan komponen pengungkapan dalam laporan
keuangan
Setelah memperoleh pemahaman dan menaksir risiko
pengendalian, auditor dapat mencari pengurangan lebih lanjur tingkat risiko
pengendalian taksiran untuk asersi tertentu.
Dengan mengevaluasi pengendalian, auditor dapat mengetahui tipe
salah saji potensia, faktor-faktor
yang berdampak terhadap risiko salah saji material, desain pengujian substantif yang cocok.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat kita lihat
bahwa pengevaluasian pengendalian merupakan langkah awal dari sebuah audit dan
hal yang sangat penting. Dari hasil evaluasi tersebutlah auditor mampu
merecanakan dan melaksankan prosedur yang sesuai, mengetahui resiko audit
ataupun tingkat salah sajinya, yang akhrinya mempengaruhi pertimbangan auditor
dalam mengumpulkan bukti audit yang andal dan kompeten, yang selanjutnyan bukti
audit dijadikan dasar untuk menyatakan pendapat kewajaran atas laporan
keuangan.
3. Jika
seorang akuntan publik diminta oleh petugas pajak/fiskus (pejabat negara) untuk
mengungkapkan informasi nilai laba yang sesungguhnya untuk dikenakan pajak yang
akuntan publik ketahui sewaktu mengaudit laporan keuangan. Apakah akuntan
publik harus memenuhi permintaan fiskus tersebut? Sementara akuntan publik
harus menjaga kerahasiaan dari klien. Berikan penjelasan anda dan kaitkan
dengan undang-undang dan standar auditing yang ada!
Menurut saya, seorang akuntan publik harus memenuhi permintaan fiskus
untuk mengungkapkan informasi nilai laba yang sesungguhnya yang diketahui
sewaktu mengaudit laporan keuangan. Jika dilihat dari aturan-aturan terkait
yaitu antara lain:
v Dalam SA seksi
339 atau PSA no. 15 disebutkan bahwa Kertas kerja adalah milik auditor. Namun hak dan
kepemilikan atas kertas kerja masih
tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Aturan Erika Kompartemen Akuntan Publik
yang berkaitan dengan hubungan yang bersifat rahasia dengan klien.
v Delapan prinsip
etika akuntan atau kode etik akuntan, dapat dilihat pada prinsip ke-6 tentang
kerahasiaan menyebutkan “Setiap
anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan
jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut
tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum
untuk mengungkapkannya. Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati
kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui
jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan
setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir”
v UU no 6 tahun
1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan STTD UU No 16 tahun 2009,
yaitu:
-
Pasal 35 Ayat (1) Apabila dalam menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari
bank, akuntan publik, notaris, konsultan
pajak, kantor administrasi,
dan/atau pihak ketiga
lainnya, yang mempunyai hubungan
dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari
Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau
bukti yang diminta.
-
Pasal 35 Ayat
(2) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh
kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut
ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas
permintaan tertulis dari Menteri Keuangan
-
Pasal 35A ayat (1) Setiap instansi pemerintah,
lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang
berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
-Pasal 35A ayat
(2) Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi
untuk kepentingan penerimaan
negara yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan
Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (2).
v Dalam UU RI no 5
Tahun 2011 tentang akuntan publik yaitu:
-
Pasal 29 ayat (1) Akuntan Publik dan/atau Pihak
Terasosiasi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperolehnya dari klien,
ayat (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan apabila
digunakan untuk kepentingan pengawasan oleh Menteri.
Berdasarkan beberapa penjelasan aturan-aturan terkait kerahasiaan klien
diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa walaupun dalam kode etik akuntan,
seorang akuntan publik harus menjaga kerahasiaan informasi klien dan tidak
boleh mengungkapkan informasi tanpa persetujuan klien, namun kewajiban
merahasiakan informasi klien tersebut akan gugur jika bukti tersebut diperlukan
untuk pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan, yang dalam hal diatas diperlukan untuk pengenaan pajak. Maka
seorang akuntan wajib mengungkapkan informasi yang diketahui selama proses
audit laporan keuangan, meskipun tanpa meminta ijin terlebih dahulu oleh klien.
Tetapi untuk menjaga hubungan baik dengan klien. Ada baiknya jika seorang
akuntan dalam mengungkapkan informasi kepada pihak fiskus itu mengkomunikasikan
atau memberitahukan kepada klie baik secara langsung maupun via telepon.
4. Jawaban
a. Jelaskan tentang prosedur apa yang
dilakukan oleh auditor untuk meyakini penyajian di akun modal di atas!
Prosedur yang dilakukan oleh auditor untuk
meyakini penyajian akun modal pada akhir periode tahun 2008 adalah pengujian
substantif. Program
pengujian substantif ini berisi prosedur audit yang dirancang untuk mencapai
tujuan pemeriksaan terhadap akun modal diatas,prosedur-prosedur tersebut antara
lain:
I.
Prosedur Awal Audit
1.
Mengusut saldo ekuitas yang tercantum di neraca ke saldo akun ekuitas dalam buku besar.
2.
Menghitung kembali saldo akun ekuitas di dalam buku besar.
3.
Melakukan review terhadap perubahan struktur modal ditempatkan
perseroan
dalam jumlah dan sumber posting dalam akun modal saham.
4.
Mengusut saldo awal akun ekuitas ke kertas kerja tahun yang
lalu.
5.
Melakukan rekonsiliasi akun kontrol ekuitas dalam buku besar ke
buku pembantu ekuitas.
II.
Melakukan prosedur analitik terkait dengan akun
ekuitas diatas, dalam hal ini akun saham perusahaan tahun 2008, membandingkan
dengan hasil prosedur analitik data tahun lalu.
III.
Pengujian terhadap transaksi rinci modal saham
1.
Memeriksa dokumen yang mendukung transaksi penambahan
modal dasar yang semula Rp.22.500.000.000,-
ditingkatkan menjadi Rp.67.500.000.000,-
2.
Memeriksa dokumen yang mendukung transaksi penambahan modal disetor yang
semula senilai Rp.5.800.000.000,- ditingkatkan menjadi Rp.17.300.000.000,-.
3.
Memeriksa dokumen yang mendukung transaksi perubahan
struktur modal yang ditempatkan oleh Tuan Christiano dan Ronaldo.
IV.
Penyajian terhadap akun rinci
1.
mempelajari notulen rapat pemegang saham dan direksi atas
perubahan struktur modal.
2.
Meminta surat atas perubahan struktur modal yang ada di tangan klien
dan melakukan penghitungan dan
inspeksi terhadap sertifikat surat atas perubahan struktur modal tersebut.
3.
Melakukan konfirmasi terhadap Tuan Christiano dan Ronaldo atas
perubahan struktur perubahan modalnya.
4.
Membandingkan metode penilaian ekuitas atas modal saham yang digunakan oleh
klien dengan prinsip akuntansi berterimas umum di Indonesia.
5.
Membandingkan nilai saham dengan harga pasar surat berharga.
V.
Memeriksa verifikasi mengenai penyajian dan
pengungkapan atas penambahan dan perubahan struktur modal saham diatas
b.
Bukti-bukti
apa saja yang harus dicollect oleh
auditor untuk mendukung prosedur yang akan dilakukan!
- Bukti yang berasal dari data akuntansi. Data-data akuntansi tersebut antara lain antara lain Jurnal atas transaksi modal diatas (penambahan serta perubahan strukturnya); Buku besar atas modal diatas; Buku pembantu akun modal atas nama Tuan Christiano dan Ronaldo; PSAK dan aturan-aturan terkait lainnya yang berlaku bagi PT. IMA; Kertas Kerja; hasil perhitungan-perhitungan analitik.
- Bukti pendukung lainnya antara lain Akta Pendirian tahun 2003; dokumen perubahan anggaran dasar tahun 2007; bukti setor saham a.n Tuan Christiano dan Ronaldo; Notulen rapat pemegang saham dan direksi pada tahun 2007 atas perubahan Anggaran Dasar PT. IMA; Hasil konfirmasi oleh Tuan Christiano dan Ronaldo; Observasi pada SPI PT. IMA; informasi hasil audit tahun sebelumnya.
c.
Simpulkan
dan jelaskan tingkat kewajaran penyajian akun modal di atas berdasarkan fakta
yang ada!
Berdasarkan fakta diatas
maka kesimpulannya adala penyajian akun modal diatas adalah wajar tanpa pengecualian.
Hal ini dapat dilihat dari bukti audit yang mendukung dan telah diperoleh semua
oleh auditor sesuai dengan kondisi, serta pencatatan pada neraca per 31
Desember 2008 sudah sesuai dengan keadaan sebenarnya yaitu Rp.17.300.000.000, yaitu untuk Tuan Christiano8.400
lembar senilai Rp.8.400.000.000,00,
dan Tuan Ronaldo 8.900 lembar senilai
Rp.8.900.000.000,00, maka totalnya
ada Rp. 17.300.000.000,-.
0 comments:
Post a Comment